Membangun Semangat Mujahadah
Oleh : Ust. H. Agus Budiantoro, SIP.
_*Khutbah Pertama*_
الحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ عَلَى قُلُوْبِ المُؤْمِنِيْنَ، وَجَعَلَ الضِّياَقَ عَلَى قُلُوْبِ الْمُنَافِقِيْنَ وَالْكَافِرِيْنَ.
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ الْمَلِكُ اْلحَقُّ اْلمُبِيْنُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الصَّادِقُ الْوَعْدِ الأَمِيْنِ.
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلمِّ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ المَبْعُوْثِ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ اْلعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ.
أَمَّا بَعْدُ أَيُّهاَ اْلحَاضِرُوْنَ اْلمُسْلِمُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ. قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِّلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمينَ
_*Hadirin, jama’ah shalat Jum’at yang dirahmati Allah*_
Marilah kita senantiasa bersyukur kepada Allah ﷺ, dengan ucapan “Alhamdulillahi rabbil ‘alamin”, sebab Dia telah melimpahkan karunia dan rahmat kepada kita semua sehingga masih dalam lindungan, taufiq dan hidayah-Nya. Shalawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad ﷺ yang telah membimbing manusia keluar dari kejahiliyahan menuju cahaya ajaran islam yang terang benderang.
Selanjutnya, perkenankan saya selaku khatib mengajak kepada seluruh jamaah untuk selalu berupaya menjaga dan meningkatkan iman dan takwa kepada Allah ﷺ; dengan menunaikan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Hanya dengan takwa yang demikian kita akan mampu menghadapi berbagai persoalan kehidupan yang selalu berubah dan kompleks.
_*Hadirin, jama’ah shalat Jum’at yang dirahmati Allah*_
Dalam kehidupan ini kita selalu dihadapkan pada ujian, tantangan atau cobaan hidup. Pada sisi inilah kita harus berusaha mengerahkan segenap kemampuan terbaik, agar cita-cita, tujuan ataupun keinginan yang mulia dapat diraih dengan sebaik-baiknya. Allah berfirman,
وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُواْ فِينَا لَنَهۡدِيَنَّهُمۡ سُبُلَنَاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ٦٩
_“Dan orang-orang yang berjuang (jihad) untuk mencari keridhaan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”_ [QS Al-Ankabut (29):69].
Seorang pribadi yang bertakwa dituntut untuk bersungguh-sungguh, dalam bidang apapun; baik sebagai pedagang, petani, pegawai, buruh ataupun pelajar. Kita jangan melakukan tindakan secara serampangan, asal-asalan atau pun setengah-setengah dalam bekerja agar hasil yang didapatkan maksimal dan memuaskan. Allah berfirman :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ ﴿١٥﴾
_”Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar”._ [QS Al-Hujurat (49):15]
Salah satu jati diri orang yang beriman pada ayat di atas ialah “mujahadah” yang disebut juga dengan “jihad”. Jihad berasal dari kata jahada-yujahidu-mujahadah-jihad, artinya suatu usaha yang sungguh-sungguh dalam urusan dunia ataupun urusan agama (akhirat) dengan segenap batas maksimal kemampuan yang dimiliki, yang ditandai dengan mengorbankan sesuatu yang bernilai, baik berupa waktu, tenaga, fikiran dan hartanya untuk mendapatkan ridha Allah ﷺ.
_*Hadirin, jama’ah shalat Jum’at yang dirahmati Allah*_
Berjihad untuk apa? Jihad dalam rangka memperjuangkan suatu yang baik, mulia dan bermanfaat; dapat merupakan kebutuhan diri pribadi, keluarga, masyarakat, organisasi, maupun bangsa dan negara - yang dilandasi nilai-nilai keimanan.
Dalam kehidupan ini ada empat (4) kelompok potensi (kekuatan) ummat untuk berjuang guna meraih tujuan yang dicita-citakan, yaitu;
1️⃣ *Ulul Albab*, ialah para ulama, ilmuwan (cendekiawan) dan pakar, serta pemimpin ummat dari berbagai organisasi massa dan lembaga swadaya masyarakat lainnya; mereka memberikan nasehat dan pemikirannya untuk perbaikan dan kebaikan masyarakat ini.
2️⃣ *Ulul Amri*, ialah para pejabat pemerintah dari berbagai unsur instansi dan departemen, baik sipil maupun militer, wakil-wakil rakyat, mereka memberikan dorongan dan kemudahan fasilitas; mulai dari tingkat tertinggi (negara) hingga tingkat paling bawah, yaitu dusun atau bahkan RT.
3️⃣ *Ulul Amwal*, ialah pemilik harta yang dermawan karena mendapat rezeki berlebih dibandingkan yang lain, mereka tampil sebagai pendukung dana dengan membayar zakat, memberikan sedekah (sumbangan), wakaf, hibah atau pun infaq fisabilillah.
4️⃣ *Ulul Anfus*, ialah sukarelawan yang dengan ikhlas menyumbangkan potensi jiwa, fikiran, tenaga dan waktunya untuk bekerja dengan penuh semangat, trampil dan mandiri.
Apabila setiap unsur menjalankan tugas dan perannya dengan benar, maka sesungguhnya masyarakat akan cepat dapat meraih cita-citanya mewujudkan kehidupan yang adil makmur dan sejahtera.
_*Hadirin, jama’ah shalat Jum’at yang dirahmati Allah*_
Dalam kenyataan sehari-hari, seringkali kita digoda oleh sifat negatif dari hawa nafsu, sehingga tidak menunaikan peran dan tugas itu dengan benar. Nafsu merupakan bagian yang melekat pada setiap makhluk, termasuk manusia. Dengan berbekal nafsu, manusia dapat menjalankan kehidupannya secara wajar untuk hidup di dunia, misal dalam memenuhi kebutuhan penting manusia, seperti makan, minum, tidur, menikah, dan lain sebagainya. Karena itu, secara alamiah nafsu bukanlah hal yang mutlak buruk. Namun demikian, nafsu memiliki kecenderungan untuk menyimpang.
Maka Islam mengajarkan untuk mengendalikan nafsu. Kita tidak diperintahkan untuk menghilangkan atau membunuh nafsu; namun kita harus memegang kuasa penuh mengendalikan atasnya agar selamat dari jebakan dan godaan-godaannya.
Pilihannya hanya ada dua, apakah kita menguasai nafsu atau justru dikuasai oleh nafsu. Dua pilihan ini pula yang menentukan apakah kita akan memperoleh kebahagiaan hakiki atau tidak. Imam al-Ghazali mengatakan dalam kitab Ihya’ ‘Ulumiddin:
السَّعَادَةُ كُلُّهَا فِي أَنْ يَمْلِكَ الرَّجُلُ نَفْسَهُ وَالشَّــقَــاوَةُ فِي أَنْ تَمْـلِـكَـــهُ نَفْـسُــــهُ
_“Kebahagiaan adalah ketika seseorang mampu menguasai nafsunya. Kesengsaraan adalah saat seseorang dikuasai nafsunya.”_
_*Hadirin, jama’ah shalat Jum’at yang dirahmati Allah*_
Tentu saja, usaha mengendalikan nafsu ini bukan pekerjaan yang mudah. Karakter nafsu yang tak tampak dan seringkali membawa efek kenikmatan menjadikannya sebagai musuh paling sulit untuk diperangi. Rasulullah sendiri mengistilahkan ikhtiar pengendalian nafsu ini dengan “jihad”, yakni jihâdun nafsi. Sepulang dari perang Badar, Nabi ﷺ bersabda,
رَجَعْتُمْ مِنَ اْلجِهَادِ اْلأَصْغَرِ إِلَى الجِهَادِ الأَكْبَرِ فَقِيْلَ وَمَا جِهَادُ الأَكْبَر يَا رَسُوْلَ الله؟ فَقَالَ جِهَادُ النَّفْسِ
_“Kalian semua pulang dari sebuah pertempuran kecil dan bakal menghadapi pertempuran yang lebih besar. Lalu ditanyakan kepada Rasulullah ﷺ, ‘Apakah pertempuran akbar itu, wahai Rasulullah?’ Rasul menjawab, ‘jihad (memerangi) hawa nafsu’._ [HR Al-Baihaqi]
Nafsu menjadi musuh paling berat dan berbahaya karena yang dihadapi adalah diri sendiri. Ia menyelinap ke dalam diri hamba yang lalai, lalu memunculkan perilaku-perilaku tercela, seperti ujub, pamer, iri, meremehkan orang lain, dusta, khianat, memakan penghasilan haram, dan seterusnya. Lantas, bagaimana cara efektif yang bisa kita ikhtiarkan untuk jihâdun nafsi, jihad mengendalikan nafsu ini?
Abu Sulaiman Ad-Daroni juga berkata, "Kunci dunia adalah kenyang dan kunci akhirat adalah lapar." Syaikh Abdul Wahhab asy-Sya’rani dalam kitab al-Minahus Saniyyah menjelaskan bahwa maksud dari perkataan ini adalah: Allah memberikan ilmu dan kebijaksanaan (hikmah) pada orang-orang yang berpuasa dan menjadikan kebodohan dan tindak kemaksiatan pada mereka yang selalu kenyang dan mengumbar keserakahan.
Makan kenyang dan nafsu adalah dua komponen yang saling mendukung. Terkait hal ini, menurut Syaikh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, *hal pertama* yang penting dilakukan untuk mengendalikan hawa nafsu adalah melalui puasa. Secara luas, berpuasa juga bisa dimaknai menahan diri dari berbagai keinginan-keinginan yang tak terlalu penting. Meskipun halal, mencegah diri—misalnya—dari keinginan baju baru atau barang lain yang lebih mewah dari yang sudah ada termasuk cara kita untuk menguasai nafsu.
Contoh lainnya: menyisihkan harta untuk membantu orang lain yang lebih membutuhkan daripada untuk membeli perhiasan, dan sejenisnya. Sikap-sikap seperti ini dalam jangka panjang akan menjauhkan hati manusia dari sikap tamak, individualis, egois, dan lain sebagainya.
_*Hadirin, jama’ah shalat Jum’at yang dirahmati Allah*_
*Cara kedua* untuk menundukkan hawa nafsu sebagaimana tertuang dalam al-Minahus Saniyyah adalah mengurangi tidur. Ini bukan berarti kita begadang dengan ragam kegiatan yang mubazir. Tidur, sebagaimana juga makanan, bisa menjadi sumber yang menutup kejernihan kita dalam menerima cahaya Tuhan. Mengurangi tidur maksudnya adalah dengan giat bangun menunaikan shalat malam, memperbanyak dzikir, serta bermunajat kepada Allah, dan kegiatan ibadah lainnya. Rasulullah ﷺ bersabda:
عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ ، فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ ، وَهُوَ قُرْبَةٌ إِلَى رَبِّكُمْ ، وَمَكْفَرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ ، وَمَنْهَاةٌ لِلإِثْمِ
_“Laksanakanlah qiyamul lail (shalat malam) karena ia merupakan kebiasaan orang-orang saleh sebelum kalian, mendekatkan kepada Rabb kalian, menghapus dosa-dosa kalian, dan menjauhkan kalian dari berbuat dosa.”_ (HR at-Tirmidzi)
Bisa dikatakan, nafsu ibarat hewan beringas dan nakal. Untuk menjinakkannya, maka harus menjadikan hewan itu lapar dan payah – yang hal itu merupakan pilihan strategi yang efektif. Selama proses penundukan itu, nafsu mesti disibukkan dengan hal-hal positif agar semakin jinak dan tidak buas. Untuk menjernihkan rohani, Syaikh Abu Hasan Al-Azzaz rahimahullah pernah mengingatkan tiga hal, yakni 1) tidak makan kecuali di waktu lapar, 2) tidak tidur kecuali mengantuk, dan 3) tidak berbicara kecuali bila memang perlu.
Kekayaan, makanan, dan tidur adalah tiga hal yang sangat akrab dengan keseharian kita. Saking akrabnya kadang kita tak merasakan ada masalah dalam tiga hal ini. Padahal—karena status hukumnya yang mubah—kerap kali kita mengumbar begitu saja keinginan-keinginan kita hingga terlena bahwa apa yang kita lakukan sama seperti menumpuk-numpuk kabut pekat dalam hati kita. Lama-lama kalbu kita pun semakin gelap, sehingga mudah sekali dikuasai nafsu buruk.
Kebahagiaan akan datang, bila kita berjihad dengan penuh kesungguhan. Allah swt berfirman :
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِّلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمينَ
_“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim”_ [Qs. Al-Hajj (22): 78]
Semoga kita dikaruniai kekuatan untuk senantiasa menjaga semangat mujahadah, tidak mudah terbuai dengan kenikmatan yang fana, sadar akan kewajiban sebagai hamba, dan kelak meraih kebahagiaan hakiki berjumpa dengan Allah ﷺ. Âmîn.
بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
_*Khutbah Kedua*_
الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ وَ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَ اَصْحَابِهِ وَ سَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا
اَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ الله اِتَّقُوْا الله وَ اعْلَمُوْا اَنَّ الله يُحِبُّ مَكَارِمَ الْأُمُوْرِ وَ يَكْرَهُ سَفَاسِفَهَا يُحِبُّ مِنْ عِبَادِهِ اَنْ يَّكُوْنُوْا فِى تَكْمِيْلِ اِسْلَامِهِ وَ اِيْمَانِهِ وَ اِنَّهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْفَاسِقِيْنَ.
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ وَ بَارِكْ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِ سيدنا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ وَ سَلَّمْتَ وَ بَارَكْتَ عَلَى سيدنا اِبْرَاهِيْمَ وَ عَلَى اَلِ سيدنا اِبْرَاهِيْمَ فِى الْعَالَمِيْنَ اِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ وَ الْمُسْلِمِيْنَ وَ الْمُسْلِمَاتِ اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَ الْأَمْوَاتِ اِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ وَ قَاضِيَ الْحَاجَاتِ.
اَللَّهُمَّ رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ اِذْهَدَيْتَنَا وَ هَبْلَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً اِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ.
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً
رَبَّنَا اَتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِى الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنَا عَذَابَ النَّارِ
عِبَادَ الله! اِنَّ الله يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَ الْإِحْسَانِ وَ اِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَ يَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَ الْمُنْكَرِ وَ الْبَغْىِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَّكَّرُوْنَ فَاذْكُرُوْا الله الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَ اشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَ لَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرُ وَ اللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ
0 Comments: